Ironis sekali nasib
rakyat Jepang. Ketika produk-produk mobilnya merajai pasaran, justru rakyat
Jepang tak bisa menikmatinya. Memang, pendapatan per kapita mereka tinggi. Tapi
pengeluaran untuk memelihara mobil juga gila-gilaan. Biaya garasi tinggi karena
lahan terbatas, ongkos parkir bisa jutaan per bulan, biaya tol yang sepuluh
kali lipat dengan Indonesia ,
serta harga bensin yang bisa mencapai Rp 2.000 per liter.
Oleh sebab itu,
angkutan massal cepat (MRT) merupakan solusi. Berhubung lahan terbatas,
terpaksa ngerong (masuk ke dalam tanah). Alhasil, di bawah
tanah Tokyo berseliweran
jalur-jalur kereta api cepat. Selain ketepatan, akses ke segala penjuru menjadi
nilai plus mengapa rakyat Jepang memilih naik kereta. Bisa dikatakan sistem
perkeretaapian Jepang yang telah berumur lebih dari seabad adalah yang terbaik
di dunia.
Pada awalnya, Jepang
hanya mengimpor tiga kereta api dari Amerika. Satu unit digunakan untuk
transportasi umum, satu unit sebagai cadangan, dan sisanya di-preteli untuk
ditiru sebagai contoh.
Dengan ilmu
tiru-meniru itu, Jepang berhasil meninggalkan Amerika dalam teknologi
perkeretaapian. Kereta api supercepat dan berdaya angkut besar mampu melayani
mobilitas masyarakat Jepang yang terkenal gila kerja itu. Itulah sebabnya,
penduduk Tokyo antara
siang dan malam bisa berbeda banyak. Di malam hari Tokyo dihuni
11 juta jiwa, sementara siang hari 20 juta jiwa. Berarti ada 9 juta jiwa kaum
urban berduyun-duyun keluar-masuk Tokyo .
Bandingkan dengan kemacetan Jakarta pada
pagi atau sore hari di mana perbedaan jumlah warga Jakarta siang
hari (11 juta) dan malam hari (9 juta), hanya dua juta! (Kompas,
2-1-1998). Bisa dibayangkan kalau mereka semua menggunakan kendaraan pribadi
atau kendaraan umum semacam bus, seperti di Jakarta ,
jalan-jalan di Tokyo bakal macet total.
Waktu akhirnya
menjadi sangat berarti bagi mereka. Maka tak aneh kalau kita melihat banyak
penumpang yang tidur atau membaca dalam kereta. Anehnya, berbeda dengan kereta
Jabotabek, mereka tak perlu "berlatih lempar lembing" segala alias
bergelantung pada pipa besi pegangan. Begitu tenang dan tanpa guncangan sama
sekali. Bahkan beberapa diantaranya sanggup tidur dengan nyenyak!
Ketat dan tepatnya
jadwal kereta api membuat orang harus cermat dan hati-hati. Begitu tepatnya,
jika terlambat satu menit saja terpaksa harus menunggu kereta berikutnya.
Selain itu, di Jepang terlambat lima menit
sudah sangat memalukan. Karena itu kita harus tahu dengan pasti naik dan turun
di mana, masuk peron mana, serta gerbong nomor dan pintu berapa. Mereka pun
dengan tertib antre. Bisa dibayangkan, jutaan manusia setiap hari harus antre,
berjalan cepat, dan bertemu dengan manusia lain yang akhirnya membentuk manusia
Jepang yang sehat, berbudaya tertib, berdisiplin, kerja keras, suka hidup
berkelompok, dan tepat waktu. (Dr. Ir. Soemitro Arintadisastra)
No comments:
Post a Comment